News Update :

Cari sesuatu dari Blog Ini

Kabar Biru Bahari

Jumat, 24 Februari 2012


Sepak terjang alumnus FPIK-IPB (2)

FRIDAY, JANUARY 27, 2012


Mereka ikut rombongan Rafika Daru!


Sebelumnya, kita sudah dikenalkan dengan Rafika Daru. Dia memiliki banyak 'penganut' karena pada umumnya, nyaris 80 persen alumnus fakultas perikanan dan kelautan merujuk padanya. Mari ambil contoh, satu angkatan tahun 1997 di kelas jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP)  IPB, yang akrab disebut angkatan 34-PSP (sebutan baku bagi angkatan mahasiswa di IPB).  Dari 49 orang mahasiswa yang ada, tak sampai 15 orang yang bekerja pada bidangnya.


Dalam artian, cuma segitu saja yang mengabdi pada bidang perikanan, baik sebagai karyawan perusahaan perikanan, pengusaha perikanan, pembudidaya perikanan, hingga pengajar di bidang perikanan dan kelautan. Yang lainnya, sekitar 35 orang lulusan PSP '34 bekerja di luar bidang perikanan dan kelautan. Ada yang menekuni bidang kewartawanan, perbankan, komputer, bahkan hingga perbengkelan.


Tak perlu dibahas lagi, fenomena apakah itu, yang pasti, para lulusan fakultas perikanan dan kelautan sepakat bahwa indikasi kegagalan bukanlah karena mereka bekerja di luar ilmu yang ditekuninya. Pendidikan hanya menyumbang 5% karakter karir kita, sisanya yang 95 % adalah non pendidikan. Namun tentu kita perlu mengetahui apa yang mereka lakukan setelah lulus dari fakultas perikanan dan kelautan? Berikut wawancara BiRU dengan para alumnusnya yang menjadi penganut Rafika Daru (Rombongan Alumni FPIK Karir Kesasar dari Jalurnya, red).


BiRU kepada Tommi Lamanepa: 
Bekerja dimana Anda?
Tommi Lamanepa:
Sebagai dasainer website dan grafisnya


BiRU kepada Shashi Nurcahya: 
Bekerja dimana Anda?
Shashi Nurcahya:
Menjadi guru sekolah alam

Berburu kalsium tulang ikan


Berburu kalsium tulang ikan

THURSDAY, FEBRUARY 2, 2012

Kalsium sangat dibutuhkan bagi semua orang, baik yang sedang dalam masa pertumbuhan maupun yang ada di usia senja sekalipun. Kekurangan kalsium bisa menyebabkan pertumbuhan tubuh anak terhambat, serta osteoporosis bagi orang tua.


Saat ini banyak beredar produk susu dengan kadar kalsium tinggi di dalamnya. Namun tentu kita harus merogoh saku lebih dalam, karena harga susu tersebut cukup tinggi.


Pilih ikan spesies kecil lebih bijak


Salah satu temuan dari para ahli gizi dunia mengungkap bahwa mengkonsumsi ikan beserta tulangnya akan memberi banyak asupan kalsium ke tubuh. "Ikan yang dimakan beserta tulangnya, mengandung lebih dari 500 mg kalsium,"  ungkap ahli gizi medis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr Fiastuti Witjaksono, SpGK 


Hanya saja, kita harus bijak dalam menerapkan saran para peneliti tersebut. Alih-alih ingin mendapatkan kalsium yang cukup, ikan yang masih tahap perkembangan pun kita sikat. Mengingat jika sudah besar, maka tulangnya akan semakin keras.



Menanggapi hal itu, Fiastuti mengatakan, kita tak harus makan ikan-ikan yang masih kecil. Banyak ikan-ikan yang memang jenisnya kecil dan kelimpahannya cukup banyak, diantarnya teri (Stolephorus sp.). Jika pun ikan dewasa, maka kita dapat memainkan cara memasaknya, direbus atau dipresto. (ang)

Menakar konsep industrialisasi perikanan

Menakar konsep industrialisasi perikanan

WEDNESDAY, FEBRUARY 8, 2012

Kalau industrialisasi perikanan sudah dipublikasikan, tapi ternyata belum siap secara industri maka produksi perikanan Indonesia akan stagnan.
Ganti pemimpin ganti juga kebijakan, sudah biasa di pemerintahan Indonesia. Kondisi ini mulai tampak di tubuh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sebagai nahkoda baru, Menteri Kelautan dan Perikanan(Men-KP), Sharif Cicip Sutardjo coba melakukan gebrakan dengan memfokuskan pengembangan industrialisasi perikanan.
Menurut Men-KP, yang dimaksud indutrialisasi bukan sekadar pembangunan dan pengembangan industri pengolahan ikan, tapi juga peningkatan skala usaha perikanan tangkap, budidaya, dan aspek pendukung kelautan dan perikanan lainnya. Pria yang akrab disapa Cicip ini berpendapat industrialisasi perikanan menjadi penting karena tanpa itu nilai tambah hasil perikanan menjadi rendah.
“Saya akan konsekuen dengan target ini. Tentunya industrialisasi ini tidak selalu untuk yang skala besar. Industri yang skala kecil atau industri rakyat pun tetap menjadi perhatian,” tandas Cicip kepada para wartawan beberapa waktu lalu.
Ia mencontohkan, terdapat sekitar 60 ribu pelaku usaha pindang ikan skala kecil yang mengalami kesulitan terkait bahan baku. Padahal spesies ikan di Indonesia itu puluhan ribu tidak seperti negara lain yang jumlah spesiesnya lebih sedikit. “Namun dengan spesies yang begitu banyak membuat tiap spesies volume produksinya menjadi kecil. Ini yang perlu dipikirkan dengan mengelola populasi ikan dan terumbu karang sebagai rumahnya,” jelasnya.
Ketika ditanya terkait kesulitan bahan baku industri pengolahan apakah solusinya impor, Cicip mengatakan importasi dilakukan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan bahan baku industri pengolahan ikan baik skala besar maupun skala rumah tangga. Namun, pihaknya akan tetap memperketat pengawasan importasi bahan baku industri pengolahan ikan hingga ke tingkat distribusi untuk melindungi dan menjamin keamanan pasar produksi perikanan dalam negeri. “Peningkatan produksi hasil perikanan yang memiliki nilai jual tinggi dapat tercapai dengan tetap melindungi pasar dalam negeri dari dampak importasi”, kilahnya.
Cicip menekankan, industrialisasi adalah upaya intervensi pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan daya saing nelayan tradisional, menambah jumlah pelaku industri tradisional yang bisa menjadi pemain industri nasional untuk dapat bersaing di pasar internasional. “Dengan industrialisasi, nelayan adalah subjek bukan objek. Nelayan yang sejahtera adalah input dari suatu proses industrialisasi yang berdaya saing tinggi,” tegasnya.


Stakeholder mendukung
Meski belum ada pemaparan khusus seperti apa konsep industrialisasi perikanan ini, parastakeholder(pemangku kepentingan)sektor kelautan dan perikanan memiliki pendapat yang beragam terkait program yang diwacanakan olehMen-KP anyar ini. Seperti yang disampaikan Wakil Ketua Komisi Catfish, Soen’an H Poernomo, ide industrialisasi perikanan tepat karena dibeberapa daerah banyak produksi ikan khususnyacatfish(ikan lele, patin, dan sejenisnya) tapi penyaluran pemasaran berupa produk segar mengalami kejenuhan. “Jalan keluarnya melabelkan suatu produk olahan catfish sebagai nilai tambah,” ujar Soen’an.
Ia menambahkan,dengan industrialisasi daerah non sentra bisa menjadi daerah sentra produk catfish. Pasalnya, terdapat daerah yang produksi, pemasaran dan konsumsicatfish belum berkembang pesat sementara minat dan selera masyarakat akan catfishada.
Pendapat senada diungkapkan Ketua SCI (Shrimp Club Indonesia) Banyuwangi, Hardi Pitoyo, Ia berpendapatmemang harus ada upaya ke arah industrialisasi perikanan tapi harus dengan konsep yang jelas. “Industrialisasi perikanan yang berbasis kerakyatan, sumber daya alam dan teknologi dengan tetap memperhatikan pembudidaya,” tegas Hardi.
Sedangkan Ketua Umum AP5I (Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia), Thomas Darmawan menyatakan, sektor perikanan dan kelautan Indonesia memang harus mengarah ke industrialisasi. “Kalau belajar dari China dan Thailand, ekspor produk perikanan dan kelautan sangat tinggi. Impornya pun sangat tinggi tapi ada nilai tambah di dalam negeri melalui industri pengolahan yang menciptakan tenaga kerja,” paparnya.
Namun di Indonesia, lanjut Thomas, kepastian hukum untuk impor atau tidak imporpun masih susah. Padahal impor hanya sebagian kecil dan jika terpaksa karena bahan baku tidak ada. “Kalau produksi perikanan di dalam negeri tidak bisa naik buka saja impor tapi dengan syarat tidak boleh sembarangan, untuk nilai tambah dan industri pengolahan di daerah tertentu,” sarannya.
Stakeholderperikanan mewanti-wanti agar program industrialisasi perikanan ini tidak untuk pelaku usaha skala besar saja tapi skala kecil dan menengah pun tetap diperhatikan. “Industri kecil harus banyak yang bisa bertumbuh dan jangan diabaikan. Yang kecil itu juga bisa berkembang menjadi besar. Bisa menjadi plasma atau berkembang sendiri,” saran Soen’an.
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi Desember 2011 (www.trobos.com)



Berburu kalsium tulang ikan

THURSDAY, FEBRUARY 2, 2012

Kalsium sangat dibutuhkan bagi semua orang, baik yang sedang dalam masa pertumbuhan maupun yang ada di usia senja sekalipun. Kekurangan kalsium bisa menyebabkan pertumbuhan tubuh anak terhambat, serta osteoporosis bagi orang tua.


Saat ini banyak beredar produk susu dengan kadar kalsium tinggi di dalamnya. Namun tentu kita harus merogoh saku lebih dalam, karena harga susu tersebut cukup tinggi.


Pilih ikan spesies kecil lebih bijak


Salah satu temuan dari para ahli gizi dunia mengungkap bahwa mengkonsumsi ikan beserta tulangnya akan memberi banyak asupan kalsium ke tubuh. "Ikan yang dimakan beserta tulangnya, mengandung lebih dari 500 mg kalsium,"  ungkap ahli gizi medis dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr Fiastuti Witjaksono, SpGK 


Hanya saja, kita harus bijak dalam menerapkan saran para peneliti tersebut. Alih-alih ingin mendapatkan kalsium yang cukup, ikan yang masih tahap perkembangan pun kita sikat. Mengingat jika sudah besar, maka tulangnya akan semakin keras.



Menanggapi hal itu, Fiastuti mengatakan, kita tak harus makan ikan-ikan yang masih kecil. Banyak ikan-ikan yang memang jenisnya kecil dan kelimpahannya cukup banyak, diantarnya teri (Stolephorus sp.). Jika pun ikan dewasa, maka kita dapat memainkan cara memasaknya, direbus atau dipresto. (ang)

ASC & Global GAP: Bijak budidaya, Pasar Eropa terbuka


ASC & Global GAP: Bijak budidaya, Pasar Eropa terbuka

SUNDAY, FEBRUARY 12, 2012

Tengah disusun standar sertifikasi budidaya udang, prosesnya partisipatif menjembatani kepentingan dua pihak, konsumen dan produsen. Lingkungan dan sosial jadi isu kuat, tuntutan pasar Eropa. 
Catatan hasil survei itu menunjukkan, dari 6 lokasi areal tambak udang yang diobservasi, tak satupun memenuhi standar yang diacu. Aspek legal misalnya. Sekalipun memiliki surat kepemilikan lahan, hampir semua petambak tak memiliki izin kegiatan budidaya, meskipun memenuhi syarat peruntukan wilayah. Pembudidaya juga tidak memiliki dokumen lain yang menunjukkan kepatuhan pada peraturan terkait keamanan pangan, lingkungan, dan lain-lain.
Aspek legal adalah klausul pertama yang disyaratkan dalam standar ASC (Aquaculture Stewardship Council) maupun Global GAP. Dua standar ini digunakan acuan dalam observasi tambak-tambak di 6 lokasi: Lhokseumawe, Lamongan, Banyuwangi, Bulungan, Delta Mahakam dan Bone, selama 2011 lalu. Sebagian besar adalah tambak windu, kecuali Lamongan dan Banyuwangi yang membudidayakan vannamei.
Hasil lain, aspek teknis praktek budidaya misalnya, hampir semua tak memiliki saluran terpisah antara air masuk (inlet) dan air keluar (outlet). Sementara aspek lingkungan, sebagian besar tambak di Indonesia dibuat di lahan pasang surut yang dalam standar, tidak diperkenankan. Belum lagi klausul-klausul tata laksana budidaya, sumber benur, pengelolaan tambak, pengelolaan perairan serta limbah, sampai konservasi mangrove, serta dampak sosial pada masyarakat sekitar. Hasil identifikasinya, jauh dari standar ASC dan Global GAP.
Tiga LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) terlibat identifikasi di lokasi-lokasi tersebut. WWF mengumpulkan data terkait praktek budidaya, Wetlands melakukan observasi dampak lingkungan, dan Telapak melakukan kajian dampak sosial-ekonomi. Sebagai penyandang dana survei adalah Oxfam Novib dan IUCN Netherlands.

Tuntutan konsumen dan pembeli
Diterangkan Muhamad Ilman dari Wetlands, standar sertifikasi untuk budidaya banyak dan aplikasinya tergantung tuntutan konsumen, yang termanifestasi melalui permintaan buyer (pembeli/importir) asal negara tersebut. Misal, sertifikasi Global GAP yang menekankan keamanan produk, selama ini disyaratkan beberapa buyer udang asal negara-negara Uni Eropa (UE). “Ia fokus menjamin, pangan yang tersertifikasi aman sampai meja untuk dikonsumsi,” jelas Ilman.
Meski biasanya ditentukan pembeli, ada standar yang dibakukan produsen. Ilman menyebut Indonesia dengan standar CBIB (Cara Budidaya Ikan yang Baik) alias GAP (Good Aquaculture Practices), semua pembudidaya tanah air diarahkan memenuhi standar ini. Sayangnya, standar ini tidak diakui buyer secara langsung. Kata Ilman, CPIB bagus tapi belum tentu sesuai keinginan konsumen. “Kita bilang sudah ikuti standar, tapi konsumen AS atau Eropa punya standar sendiri,” jabarnya.


Fokus lingkungan dan sosial
Digarisbawahi Ilman, ASC lebih berorientasi ke isu lingkungan dan sosial. Sedikit berbeda dengan Global GAP, ACC, atau lainnya yang lebih menekankan keamanan pangan dan kualitas produk. “Kombinasi ASC dan Global GAP akan saling melengkapi. Global GAP fokus pada kemanan pangan, ASC fokus pada dampak lingkungan,” imbuh Ilman.
Ditegaskan Chandika Yusuf dari WWF, kombinasi ASC dan Global GAP akan menjadikan usaha budidaya memenuhi 3 kaidah falsafah utama food safety (keamanan pangan), biosecurity (aman, sehat dan sejahtera bagi hewan maupun lingkungan) dan eco-friendly (ramah lingkungan). “Plus menekan dampak negatif terhadap tatanan sosial masyarakat sekitar,” tuturnya.
ASC memiliki Global Steering Committee (GSC/dewan pengarah global) terepresentasi beberapa negara. Setiap tahun melakukan pertemuan di berbagai negara, mengundang pembudidaya, pedagang (buyer), industri terkait, akademisi, LSM, serta pemerintah untuk menghimpun masukan sebelum standar ini dibakukan. Diperkirakan Ilman, penyusunan standar ASC rampung tahun ini.


Perlu waktu
Azhar, pemilik tambak 6,5 ha di Lhokseumawe mengakui tidak mudah memenuhi standar ASC & Global GAP. Ketua Kelompok Petani Tambak “Gaku Neuheun” dengan 70 anggota ini mengatakan, tak sedikit pembudidaya yang masih sulit memahami klausul-klausul di dalamnya. Sehingga diperlukan waktu proses.
Sejak 2011 kelompok ini didampingi WWF. Sebelumnya, Azhar mengaku, di 2009 FAO pernah membina kelompoknya. “Jadi petambak sudah kenal dengan larangan pestisida maupun recording,” ujar dia. Hasilnya, penggunaan pestisida di area ini mulai berkurang. Untuk recording (pencatatan – red) ia mengakui masih banyak yang “malas” melakukan.
Projek ASC & Global GAP kali ini, ibarat melanjutkan dan menguatkan yang pernah didapat. Walhasil, kini terbentuk kluster di 5 lokasi dengan keberhasilan 70 – 80 %. Direncanakan, Maret tahun ini akan tebar 1 – 1,5 juta benur serentak dengan luasan tambak 150 ha. “Bersama WWF dalam sosialisasi, telah dilakukan juga tanam mangrove 3.000 batang,” tambahnya. Targetnya, 2 – 3 tahun lagi tidak ada lagi penggunaan pestisida.

Pasar UE
Pasar UE selama ini dikenal “rewel” banyak syarat. Pasalnya, konsumen di belahan benua ini peka akan isu traceability (ketelusuran), lingkungan serta animal welfare (kesejahteraan hewan). Tak heran bila tuntutan sertifikasi ASC & Global GAP bermula dari pasar UE.
Direktur Pemasaran Luar Negeri, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP Saut Hutagalung membenarkan adanya gagasan pemberlakuan standar ASC. Persyaratan ini diminta pembeli, importir atau grup dari pasar retailnya. Wajib menurut pembeli, bukan wajib menurut negara pengimpor. “Untuk udang, ASC diperkirakan berlaku mulai 2015,” kata Saut.
Indonesia sebagai produsen harus mengikuti bila bertekad menjadi pemasok. Saut berpandangan, sertifikasi ASC & Global GAP penting bagi udang Indonesia agar lebih leluasa memasok dunia, terutama memperluas penetrasi ke pasar UE. Menurut Saut, UE (470 ribu ton/tahun) adalah pasar kedua udang Indonesia setelah AS (550 ribu/tahun), diikuti Jepang (200 ribu ton).
Udang Indonesia dikenal memiliki kualitas premium dalam soal warna, citarasa dan tekstur. Ini diakui Mark Nijhof dari Heiploeg, buyer asal Belanda. Kepada TROBOS Nijhof mengaku dalam setahun menyerap sekitar 4.000 ton udang vannamei hasil budidaya, 60 % diantaranya asal Indonesia
Nijhof mengatakan, selama ini ia mensyaratkan sertifikasi Global GAP untuk budidaya dan eksportir. Untuk eksportir, wajib mengantongi sertifikat keamanan pangan Global Food Safety Initiative (GFSI). “Bila sudah tersertifikasi Global GAP, otomatis keamanan pangan tercakup di dalamnya,” terangnya. Dikatakan Nijhof, udang Indonesia akan semakin kuat bila dilengkapi sertifikat Global GAP, sertifikat organik dan kelak ditambah sertifikat ASC.
Pandangan positif dilontarkan Saut. Mengikuti standar ASC & Global GAP akan memberi dua keuntungan sekaligus bagi Indonesia. Sebagai produsen, pertama produk Indonesia diakui pasar memenuhi standar. “Semacam branding, mempunyai kelas tertentu di pasaran.


Titik rawan 2 tahun pertama
Ilman membuat simulasi. Tambak di Delta Mahakam saat ini memberikan keuntungan sekitar Rp 30 juta per tambak setiap tahunnya. Begitu standar diterapkan, tahun pertama dan kedua keuntungan akan menyusut jadi Rp 25 jutaan. Susut Rp 5 jutaan per tambak untuk investasi perbaikan tanggul dan pintu air, menanam mangrove dll. Tahun ke-tiga dipastikan keuntungan kembali pulih, tahun ke-empat dan ke-lima ada peningkatkan 30 – 40 % dari keuntungan. Simulasi ini berdasarkan hitungan dan pengalaman di tambak-tambak yang sudah membaik, petambak kecil mampu memenuhi persyaratan dalam 2 – 3 tahun.
Maka 2 tahun pertama adalah titik rawan. Tidak mudah bagi petambak kehilangan keuntungan 2 tahun berturut-turut. Dalihnya, buyer mensyaratkan standar ASC petambak rugi. Bukan tidak mungkin petambak enggan meningkatkan standar, memilih beralih buyer lain. “Di fase ini sebaiknya petambak diberi insentif. Tidak adil kerugian dibebankan ke petambak semua,” ia berpandangan. Beban bisa dibagi petambak bersama buyer asal negara tersebut serta buyer lokal (eksportir).
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi Februari 2012 (www.trobos.com)

Budidaya lele saat krisis air


Budidaya lele saat krisis air

WEDNESDAY, FEBRUARY 8, 2012

Pembudidaya lele di Indramayu dan Cirebon harus membeli air dari Dinas Pengairan dan Irigasi setempat untuk mengatasi kekurangan air akibat kemarau panjang. 

Dan petaka itu kini kian nyata. Krisis air yang dalam dua dasawarsa terakhir telah ramai dibincangkan banyak pihak mulai menampakkan kedahsyatan efeknya, termasuk di sektor perikanan. Di saat tuntutan produksi budidaya ikan kian meningkat seiring bertambahnya populasi manusia dan akibat kian menipisnya stok ikan di laut, pasokan air—lahan budidaya ikan—justruterus berkurang. Kondisi itu pun makin parah kala kemarau panjang tak kunjung usai.
Lihat saja kolam-kolam lele di sekitar Pantura (Pantai Utara Jawa)yang mengering terutama saat musim kemarau tiba. pembudidaya lele asal Kecamatan Kandanghaur, Indramayu,Warnotomengemukakan, produksi lele di daerahnya turun akibat ketersediaan air yang tidak mencukupiuntuk budidaya lele. “Hampir 50% kolam (ukuran per kolam 300 – 400 m2) tidak ada air, khususnya Kecamatan Kandanghaur dan Losarang,” ujar pria yang mempunyai 800 kolam (pribadi 150 kolam dan kemitraan 650 kolam)ini.
Alhasil, produksi lele pun tidak bisa maksimal. Dari biasanya yang rata-rata per hari bisa 13 – 15 ton, sekarang hanya pada kisaran 8 – 10 ton saja. Celakanya akibat kekurangan air ini, Warnoto harus rela merogoh kantongnya lebih dalam untuk membeli air dariDinas Pengairan dan Irigasi setempat. Jika dikalkulasi, pembelian air dari awal kemarau (Juni) sampai akhir Oktober mencapai Rp 30 juta. “Itu hanya di salah satu blok (per blok terdiri atas 150 – 200 kolam) dari 4 blok budidaya lele yang saya miliki. Yaitu blok Karangsinom, Anjun, Gangbongas,dan Sumbermas,” katanyapahit.
Menurut pria yang akrab disapa Totoini, dirinya masih butuh air sampai akhir November atau sampai hujan mulai turun. Itu berarti akan makin berat baginya untuk meraih untung lebih, karena biaya operasionalmembengkak.
Tak jauh beda dengan Toto, Charman—pembudidayalele asal Losarang, Indramayu—menyebutkansudah hampir 10 tahun ini jika musim kemarau tiba, pembudidaya lele terkendala oleh ketersediaan air.”Kalau kemarau,lahan dan kolam banyak yang kering, sehingga kita bingung menyelamatkan ikan. Sampai-sampai harus beli air dari Dinas Pengairan dan Irigasi,” tuturpria yang memiliki 100 kolam (pribadi 15 kolam dan kemitraan 85 kolam)ini.
Charman atau akrab dipanggil Maman ini menceritakan, untuk tahun ini sebenarnya kekurangan air pada kolamnya sudah terjadi sejak April. Hanya pada April dan Mei tertolong oleh air dari aliran program irigasi sawah yang terletak di belakang kolamnya. Namun saatprogram tersebut usai, kolam lelenya pun kembali kekurangan air.
Dengan kondisi kolam yang airnya tidak dalam membuat lumpur banyak timbul ke permukaan, sehingga mempengaruhi selera makan lele dan cenderung membuat nafsu makan berkurang.“Sekarang hampir 50% kolam tidak berproduksi, sehingga terjadi penurunan produksi yang biasanya 15 ton per minggu, sekarang hanya 10 ton per minggu,” jelasnya.
Penurunan produksi lele ini dibenarkan Machyudin,praktisi perikanan di wilayah Pantura. Ia menyebutkan perkembanganproduksilele cukup stabil, namun memasuki Agustus ini terjadi penurunan produksiakibatkemarau di beberapa wilayah.“Sebenarnya hal ini terjadi setiap tahun selama musim kemarau. Hanya di tahun sebelumnya, musim kemarau tidak separah sekarang karena masih ada curah hujan atau istilahnya musim kemarau basah,” cetuspria lulusan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor ini.


Sumur bor
Demi mengatasi kekurangan air ini, Maman membuat sumur bor sedalam 70 meter. Hal yang sama juga dilakukan Toto. Dia membuat sumur bor dengan biaya per lubang Rp 20 juta pada blok yang memang air sangat sulit dibandingkan blok lainnya, selainmasih tetap membeli air dan membuat tampungan air yang baru. “Blok terparah Karangsinom yang hampir 70% kolam pribadi terletak disana,” sebutnya pelan.
Dan yang membuat Toto gusar, meski kondisi seperti ini terjadi pada setiap musim kemarau, namun nyaristidak ada tindakan antisipasi dari pemerintah.”Seharusnya pemerintah setempat dan pusat bisa membantumeminimalisir kondisi ini, sebab di kecamatan tetangga yaitu Kecamatan Patrol terjadi kelebihan air, sampai air dibuang ke laut. Ini sebaliknya, seolah-olahmerekatidak peduli danpembudidaya hanya dijadikan obyek untuk mendapatkan keuntungan di bidang pengairan ini,” katanyamenumpahkan kekesalan.
Machyudin berharap semoga permasalahan air di wilayah Indramayu dan Cirebon bisa teratasi dengan dibangunnya Waduk Jati Gede di Sumedang. Juga adanyakerjasama antar dinas terkait, seperti Dinas Pertanian, Dinas Perikanan, serta Dinas Pengairan dan Irigasi dalam pengaturan air untuk persawahan dan perikanan. “Sehingga praktik jual beli air irigasi setiap musim kemarau tidak terjadi lagi,” tegasnya.
Sementara itu untuk mencegah penurunan produksi lebih jauh, Maman menyebutkan salah satu caranya dengan antisipasi terhadap penyakit dan betul-betul memperhatikan kualitas air. Kualitas air yang dimaksud adalah dengan penambahan air dari sumur bor serta ditukar air dari pembenihan untuk pembesaran. ”Jika airnya masih bagus, dari pembenihan diberikan kepada pembesaran. Tujuannya agar pembesaran mendapatkan air dari pembenihan yang belum banyak kotoran. Atau dengan tetes tebu untuk menstabilkan air,” terangnya.
Technical Service and SalesPT Suri Tani Pemuka (STP), Tejo menyarankan, untuk mengatasi hal ini denganpemberian pakan yang tepat sesuai kebutuhan lele, jangan sampai over feeding (kelebihan pakan)hanya demi menggenjot pertumbuhan supaya cepat diserap pasar. Untuk itu pemberian pakan dilakukan dengan frekuensi berbeda. Misalnya satu sak habis satu hari diberikan pada waktu pagi dan sore, sekarang bisa menambahkan pemberian pada siang hari dengan tidak mengurangi volume pakan setiap sak per harinya.


Daerah lain meningkat
Menanggapi kekurangan air ini, Direktur Produksi Perikanan Budidaya Kementerian dan Kelautan Perikanan (KKP), Iskandar Ismanadjimengakui jika di Pantura dalam beberapa bulan terakhir mengalami stagnan produksimeski tahun-tahun sebelumnyameningkat cukup pesat (banyak lahan/tanah kosong berubah menjadi kolam tanah atau terpal).
Selengkapnya baca di majalah Trobos Edisi November 2011 (www.trobos.com)

Urgensi impor ikan bagi pemindangan


Urgensi impor ikan bagi pemindangan

TUESDAY, FEBRUARY 7, 2012

Kebijakan importasi ikan diminta pengusaha pemindangan ikan diterapkan secara kondisional melihat ketersediaan bahan baku ikan lokal.


Tak kurang dari 15 ton pindang ikan setiap hari diproduksi oleh sebuah pabrik mini pemindangan ikan di kawasan Tanah Seral Bogor Jawa Barat. Usaha pemindangan ikan yang merupakan salah satu yang terbesar di Jawa Barat ini adalah milik Nurodin. Wilayah pemasarannya meliputi Bogor dan sekitarnya.

Nurodin yang asal Sukabumi Jawa Barat itu sudah menjalankan usaha sejak 2000, dengan nilai aset usahanya kini mencapai Rp 1,5 miliar. Nilai sebesar itu diantaranya mencakup lahan dan bangunan, serta fasilitas 3 ruang pendingin untuk menyimpan bahan baku ikan beku berkapasitas total sekitar 100 ton.

Kuncinya bahan baku
Bagi Nurodin yang sudah berpengalaman belasan tahun menggeluti bisnis pemindangan ikan, kunci dari perkembangan dan keberlanjutan usaha olahan ikan adalah ketersediaan bahan baku ikan dan modal kerja. “Selama pasokan bahan baku pemindangan ikan tersedia sesuai kebutuhan, usaha ini bisa terus berkembang. Kondisi ini didukung tren konsumsi produk pindang ikan yang meningkat,” kata Nurodin kepada TROBOS belum lama ini di Bogor.

Nurodin mencontohkan, jenis ikan salem yang menjadi primadona produk pemindangan ikan selama ini hanya bisa dipasok dari para impotir. “Jika sampai ikan salem ini dilarang importasinya saya bisa kehilangan pasar dan usaha berhenti, sementara biaya opersional harus terus berjalan karena ada fasilitas pendingin,” kata Nurodin.

Ia menambahkan, impor bahan baku pindang dibatasi, belum tentu jenis ikan lokal seperti layang, tongkol, cakalang, kembung, kue, selar dan lainnya bisa tersedia dalam jumlah yang dibutuhkan secara rutin, karena hasil tangkapan nelayan lokal bersifat musiman. Selama ini Nurodin memperoleh pasokan bahan baku ikan baik lokal maupun impor dari Pelabuhan Perikanan Muara Angke dan Muara Baru Jakarta, Cengkareng, serta Palabuhanratu Sukabumi.

Sementara itu Ramli, pengusaha pemindangan ikan di Muara Angke berpendapat, jika disuruh memilih, para pemindang jelas lebih suka membeli ikan lokal ketimbang ikan impor. Menurut pria yang meneruskan usaha keluarganya dari 1996 ini, kualitas ikan lokal lebih segar dan harganya relatif lebih murah dibandingkan impor, apalagi saat musim ikan berlimpah.

Sedangkan saat musim paceklik ikan, lanjut Ramli, para pemindang ikan mulai sulit mendapatkan bahan baku ikan. Ia mengaku, saat bahan baku ikan lagi kosong bisa sampai 2 bulan. Saat sperti itu, para pemindang ikan di Muara Angke yang jumlahnya sekitar 57 orang dengan rata-rata produksi 2 ton per hari dipastikan berebut bahan baku dan harga ikan jadi tinggi. “Kalau yang tersedia ikan impor, mau tidak mau kita beli juga, yang penting usaha pemindangan ikan bisa berjalan terus,” kata pria yang setiap hari mampu memproduksi 4 ton pindang ikan itu.

Nilai ekonomi pemindangan
Harapan dari kedua pengusaha pemindang ikan itu seakan mewakili para pengusaha pemindangan ikan lainnya di Indonesia yang umumnya berskala kecil menengah. Data Asosiasi Pengusaha Pindang Ikan Indonesia (Appikando) menunjukkan, hingga saat ini rata-rata total kebutuhan bahan baku ikan untuk pindang nasional mencapai 157.838 ton per bulan.

Dari kebutuhan tersebut hanya bisa dipasok dari nelayan Indonesia sebesar 76.434 ton atau 48,43 % per bulan. Berarti masih ada kekurangan bahan baku pemindangan ikan sebesar 81.405 ton atau 51,57 %. Menurut Wakil Ketua Appikando, Barqil Falah, guna memenuhi kekurangan itu, kebijakan membuka impor ikan yang bersifat kondisional atau sementara, merupakan solusi paling realistis. “Kebijakan ini penting untuk menyelamatkan kelangsungan usaha pemindangan ikan yang mampu menafkahi ratusan ribu tenaga kerja,” kata Barqil.

Masih dari data Appikando, usaha pemindangan ikan secara nasional mampu menyerap tenaga kerja 354.355 orang. Jumlah tersebut terdiri atas pengrajin pemindangan ikan/pengepul sekitar 65 ribu orang, pekerja pemindang 157.830 orang (30 orang untuk 1 ton ikan), pedagang eceran pindang sekitar 78.915 orang (15 orang untuk 1 ton ikan), serta pengrajin besek atau kemasan pemindangan ikan sekitar 52.610 (10 orang untuk 1 ton ikan).

Menurut Barqil, nilai perputaran ekonomi usaha pemindangan ikan nasional setiap hari mencapai sekitar Rp 89 miliar, dengan kisaran harga pindang ikan Rp 17 ribu per kg. Artinya dalam sebulan saja nilanya bisa berlipat mencapai Rp 2,6 triliun dan dalam 1 tahun bisa mencapai Rp 32 triliun. “Melihat besarnya nilai ekonomi tersebut, jelas sudah bahwa kebijakan KKP selama ini yang membuka impor ikan jenis tertentu yang dibutuhkan untuk usaha pemindangan sudah tepat,” tegas Barqil.

Kebijakan importasi ikan
Menanggapi soal pembatasan bahan baku impor ikan, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sharif Cicip Sutardjo, menyatakan akan lebih fleksibel dalam menerapkan kebijakan tersebut. “Kita sudah punya aturannya, bahwa ikan yang boleh diimpor adalah ikan yang memang tidak bisa diproduksi dalam negeri dan juga ikan yang mutunya di bawah standar,” kata Cicip.

Ia bahkan menegaskan, bahan konsep industrialisasi perikanan yang baru-baru ini diusungnya salah satunya berangkat dari melihat industri pemindangan ikan yang sulit berkembang karena masalah kekurangan bahan baku. Faktanya bahwa utilitas usaha pemindangan ikan nasional masih belum maksimal (lihat tabel). “Saya ingin ke depan arah kebijakan kita memproduksi hasil perikanan baik tangkap maupun budidaya adalah yang bernilai tambah, seperti usaha pemindangan ikan,” tegas cicip.

Memperkuat pernyataan tersebut, Direktur Pengolahan Ikan KKP, Santoso mengatakan, kebijakan penataan importasi tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Kelautan Perikanan nomor 15/2011 tentang pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan yang masuk ke dalam wilayan Indonesia. Lalu dipertegas dengan Keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) KKP nomor 231/2011 tentang jenis-jenis ikan yang dapat diimpor.

Santoso menjelaskan, dalam Permen tersebut disebutkan bahwa tidak diizinkan mengimpor ikan yang dapat dihasilkan oleh nelayan Indonesia atau ikan yang secara natural hidup di perairan Nusantara. Lalu ikan-ikan yang dapat diimpor secara terbatas apabila sesuai dengan syarat mutu adalah ikan yang masuk dalam kelompok perairan subtropis, termasuk ikan salem (pacific mackarel) yang hidup di Perairan Pasifik bagian utara dan timur.

Terkait kian marak isu tentang penataan impor ikan, Santoso berharap semua pihak terkait jangan terlalu peka soal ini. Sebagaimana sudah dijelaskan bahwa kebijakan pengaturan impor sudah diterapkan secara ketat oleh KKP. “Jika ada pihak yang masih menemukan ada pelanggaran silakan dilaporkan ke KKP untuk diambil tindakan,” tegas Santoso.

Ia menambahkan, kebijakan impor ikan diambil bukan untuk memberikan tekanan kepada harga ikan lokal. Faktanya saat ikan banjir mau ada ikan impor ataupun tidak, harga ikan pasti jatuh. Ia menekankan bahwa dengan adanya impor ikan jenis tertentu, bisa menopang usaha pengolahan ikan termasuk pemindangan ikan yang kurang berkembang akibat kesulitan bahan baku ikan.

Izin dibatasi, udang minim investasi


Izin dibatasi, udang minim investasi

TUESDAY, FEBRUARY 7, 2012

BPN batasi penguasaan lahan usaha tambak maksimal 100 ha di Pulau Jawa dan 200 ha di luar Pulau Jawa.

Di Pulau Belitung, Rudyan Kopot berencana mengembangkan budidaya udang terpadu di atas lahan seluas 3.000 ha. Negeri Laskar Pelangi tersebut dipilih oleh pria yang dikenal luas sebagai tokoh perudangan nasional ini karena kualitas perairannya masih bagus dan dekat dengan Singapura, sehingga ekonomis dalam pemasaran produknya.

Apa lacur, rencana tinggal rencana, obsesi Rudyan itu sampai hari ini masih sebatas impian. Hampir 4 tahun berjalan, gagasan tersebut mandek lantaran terganjal aturan izin lokasi usaha dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Padahal, menurut hitungan pria yang pernah memimpin dan membesarkan perusahaan udang vannamei terbesar di Indonesia PT Dipasena Citra Darmaja (Dipasena) ini, bila rencananya itu terwujud, setidaknya 60.000 tenaga kerja akan terserap. Karena, lanjut dia, setiap hektarnya akan membutuhkan 20 tenaga kerja. ”Total penduduk Belitung hanya sekitar 200.000 orang. Artinya bila usaha terpadu ini berjalan, akan ada sepertiga penduduk Belitung yang terserap,” imbuh dia.

Selain itu, ia tegas menekankan, usaha budidaya udang terpadu yang akan dikembangkannya ramah lingkungan, dengan konsep zero waste. Dijelaskan Rudyan, 3 komoditas utama akan dihasilkan dari usahanya, yaitu udang vannamei, rumput laut dan ikan kakap. Udang vannamei dan rumput laut akan diproduksi di bagian dalam lokasi.

Sementara di bagian luar dibudidayakan ikan nila berukuran kecil yang akan memakan sisa-sisa organik dari budidaya udang vannamei. Dan ikan nila ini selanjutnya akan dijadikan pakan ikan kakap. ”Jadi usaha ini ramah lingkungan. Tidak ada limbah yang dibuang ke laut,” ia mengklaim. Apalagi usaha ini akan berbasis inti-plasma.

Menurut Rudyan, ketidaksinkronan aturan izin lokasi BPN dengan beberapa peraturan dan keputusan menteri itu sudah melanggar. ”Ini seolah-olah BPN itu mengatur luasan lahan kementerian teknis. Padahal yang lebih tahu skala ekonomi sebuah usaha itu kankementerian teknis,” komentarnya.
Celakanya, Permen KP nomor 12 tahun 2007 menjadi seolah tidak bergigi karena kewenangan pemberian Hak Guna Usaha (HGU) ada di tangan BPN. ”Kalau HGU nggakkeluar, kredit bank juga nggak jalan,” tukasnya.

Bupati Belitung Darmansyah Husein membenarkan perihal rencana Rudyan membangun usaha terpadu budidaya udang di kabupaten yang ia pimpin, dan terganjal aturan BPN. Darmansyah juga mengaku, pernah mengkomunikasikan aturan izin lokasi nomor 2 tahun 1999 tersebut dengan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan peluangnya untuk diubah atau dikaji kembali. Saat itu, kata Darmansyah, ”Mendagri mengatakan kalau urusan BPN ia tak sanggup. Karena BPN itu sudah seperti kerajaan sendiri yang punya channellangsung ke Presiden (SBY).”

Ditemui terpisah, Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Ketut Sugama pun membenarkan pembagian kewenangan itu. ”Jadi perizinan untuk usaha tambak itu, jelas kita mengacu pada aturan BPN, sebab BPN yang berhak mengatur pertanahan di Indonesia,” katanya. Dan Ketut menilai, aturan BPN yang membatasi luas lahan budidaya itu bukan sebuah masalah. Karena menurut dia, konsepnya berbasis kerakyatan.

Pendapat berbeda dikemukakan Darmansyah yang menilai aturan izin lokasi itu tidak masuk akal. Ia menganggap tidak tepat bila alasan yang disodorkan, ini dilakukan karena trauma zaman dulu banyak konglomerat menguasai lahan tambak yang sangat luas. Jelas-jelas aturan ini diskriminatif. ”Apa bedanya pertambakan dengan pariwisata, pertanian dan perkebunan yang dalam aturan itu dibolehkan penguasaannya sampai puluhan ribu hektar?” tanyanya setengah menuntut.

Ketua Divisi Pakan Akuakultur Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT) Denny D Indradjaja juga mempertanyakan alasan sebenarnya dari pembatasan lahan untuk usaha tambak itu. ”Apakah benar untuk ekonomi kerakyatan? Kalau ekonomi kerakyatan, kami pabrik pakan yang menanggung beban karena petambak kecil itu banyak hutang pakan,” keluhnya.

Skala ekonomi
Diminta komentarnya, Rokhmin Dahuri, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor mengatakan, ”Pertanyaannya apakah aturan itu sudah berdasarkan kajian ilmiah dalam menetapkan luas penguasaan tanah untuk usaha tambak itu? Semua keputusan itu harus ada dasar ilmiahnya agar benar-benar terukur. Jangan berdasar proyek saja, substansi itu lebih penting.”

Selain skala ekonomi, juga perlu diperhitungkan kondisi hidroseanologi, kata Rokhmin. Kaitannya adalah berapa besar kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi limbah usaha tambak itu agar perairan pesisir tak tercemar dan tetap berkelanjutan.

Rudyan berhitung skala ekonomi, minimum lahan yang dibutuhkan untuk budidaya udang terpadu adalah sekitar 6.000 ha. Untuk tambak saja dibutuhkan 3.000 ha. Dari tambak seluas ini akan dihasilkan sekitar 50.000 ton udang per tahun. Selebihnya (3.000 ha) digunakan untuk infrastuktur hatchery, pabrik pakan berkapasitas 5 ton, fasilitas pengolahan, jalan, jalur kanal dan fasilitas lainnya. ”Ini skala ekonomis bagi 1 perusahaan untuk di luar Pulau Jawa yang infrastrukturnya belum memadai. Bila tidak terpadu, biayanya akan tinggi dan menggerogoti keuntungan. Bayangkan bila pakan diambil dari Jawa dan pengolahan udangnya di Jawa, butuh biaya besar untuk transportasi dan bongkar muat,” paparnya.

Apabila di Pulau Jawa hanya diperbolehkan 100 ha, luasan yang bisa dikembangkan untuk budidaya hanya 40 ha. Sementara di luar Pulau Jawa 80 ha. ”Luasan sebesar ininggak menarik bagi investor. Apalagi di luar Pulau Jawa yang terkendala logistik dan infrastruktur,” cecar Rudyan.

Maunya pemberdayaan
Tetapi menurut Ketut, pembatasan penguasaan lahan juga berdampak positif untuk memberdayakan petambak kecil. ”Para petambak ini selanjutnya diintegrasikan dengan perusahaan pengolahan. Ini akan jadi kuat,” tandasnya. Ia menunjuk contoh Thailand, yang mengaplikasikan konsep integrasi berbasis tambak rakyat.

Produksi udang Thailand tinggi disokong petambak-petambak kecil yang dikontrol dalam teknis budidayanya, dan dibangun kesepahaman antara petambak dan perusahaan pengolahan. Karena perusahaan pengolahan menuntut kualitas tertentu, mereka membina para petambak untuk memenuhi kualitas tersebut. Dan melalui regulasi, usaha budidaya dikonsentrasikan di satu kawasan terpadu, serta difasilitasi laboratorium berjalan untuk kontrol penyakit. ”Konsep integrasi berbasis kerakyatan ini yang harus dilakukan di Indonesia,” tuturnya penuh semangat.

Denny cukup sinikal dengan konsep ini. ”Boleh saja Pak Ketut bilang konsep itu bagus dikembangkan. Tapi lihat di lapangan, yang membiayai petambak kecil itu pabrik pakan, bukan perbankan. Istilahnya kami jadi banker. Satu pabrik pakan, uangnya di para petambak itu berkisar Rp 10 miliar. Mereka berhutang. Kalau mereka gagal, ya pabrik pakan yang tanggung. Kami kena imbas paling besar,” sergah dia.

Genjot produksi nasional
Seolah berada di ujung jalan buntu, Rudyan pun menuntut agar aturan BPN itu diubah. ”Berikan kesempatan bagi pengusaha besar untuk masuk,” pintanya. Ia mengamati, sejak dikeluarkannya aturan BPN itu, praktis tak ada investasi besar di perudangan nasional. Investasi yang ada, kata Rudyan, skalanya kecil dengan teknologi yang kurang maju dan kurang berkembang. Sehingga produksi tidak dapat digenjot signifikan.

Padahal, bila pengusaha besar diberi kesempatan, mencapai target produksi udang di 2014 sebagaimana dipatok pemerintah bukan masalah. Bahkan Indonesia bisa feed the world untuk udang. Maksud dia, Indonesia bakal jadi pemasok utama udang dunia. “The world needs shrimp. Sekarang Thailand kena banjir, Vietnam produksinya terganggu karena badai typhoon. Dan 2012 China diperkirakan akan sepenuhnya impor udang. Ini kesempatan bagi Indonesia!” tandasnya.

Rudyan menambahkan pandangannya, pola pengembangan kelapa sawit adalah model yang bisa dicontoh di perudangan. Komposisi kepemilikan usaha kelapa sawit seimbang antara pengusaha besar dan rakyat. ”Dulu kita mengimpor untuk minyak makan. Sebaliknya sekarang kita sudah menjadi pengekspor terbesar untuk minyak sawit. Ini bisa dilakukan di perikanan, khususnya perudangan. Di satu sisi, pengembangan agri-akua inikan butuh teknologi maju. Kebutuhan ini bisa diisi oleh perusahaan atau pengusaha,” ia berargumentasi.

Selengkapnya baca majalah Trobos edisi Desember 2011 (www.trobos.com)

Masyarakat kampung laut Melahing : Kebaikan yang tercoreng


Masyarakat kampung laut Melahing : Kebaikan yang tercoreng

MONDAY, FEBRUARY 6, 2012

Masyarakat marikultur handal


Kampung Melahing merupakan kawasan pemukiman dengan karakteristik khas di wilayah pesisir Kota Bontang. Kondisi geografis daerah ini berada di daerah pesisir atas air, dengan kondisi pasang surut.


Mata pencaharian utama masyarakat disana adalah berbudidaya laut atau marikultur. Selain itu mereka menangkap dengan alat bubu dan mengumpulkan teripang. Kegiatan marikultur disana umumnya berbudidaya ikan kerapu dan kakap putih. Budidaya itu dilakukan di sebuah keramba tancap yang dipasang di bawah bangunan rumah panggungnya. 


Namun siapa sangka bahwa ternyata di kampung yang tenang dan lestari itu terjadi konflik kepentingan yang membuat rusak alam sekitar. Berikut paparan singkatnya.



Berterimakasih pada alam


Masyarakat Kampung  Melahing berkeyakinan bahwa laut telah memberi mereka rizki, sehingga mereka harus berterimakasih dengan memberi persembahan kepada laut. Untuk keperkan itu, setiap setahun sekali para nelayan juga melakukan kegiatan ”kasih makan karang” dengan sesajian berupa makanan dan buah-buahan. 


Ritual tersebut dilakukan pada akhir tahun dan diikutsertakan bersamaan dengan nelayan di Bontang Kuala. Hal itu merupakan salah satu tradisi yang berkemban disana. "Meski seluruhnya beragama Islam, tapi mereka masih mempercayai hal-hal gaib yang berkenaan dengan hidup mereka sehari-hari," ujar Sosiolog dari Universitas Mulawarman, Erwiantono, M.Si. 


Selain "kasih makan karang" ada pula tradisi ketika terjadi musibah. Bila ada keluarga nelayan yang sakit atau meninggal, mereka melakukan ritual ”membuang ke laut” untuk menolak bala. Caranya, melempar sesaji berupa ketan, telur, pisang ambon, dan kelapa, ke laut. 


Mereka percaya di laut ada mahluk berupa manusia yang menyerupai buaya, yang bertugas sebagai penunggu laut. Sesajian itu diharapkan dapat menyenangkan mereka sehingga tidak terjadi lagi musibah yang menimpa keluarga.


Menangkap ikan dengan bom 


Masyarakat Kampung Melahing juga sadar lingkungan. Hal itu terlihat dari cara mereka menjaga hutan mangrove sebagai, sabuk pengaman air buangan dari sungai dan penahan gelombang dari laut. 


Sebagai peternak kerapu, mereka sangat paham bahwa hutan mangrove merupakan tempat memijahnya (bertelur) ikan kerapu. Jika mangrove rusak, tidak ada lagi tempat mencari benih kerapu. Namun kesadaran mereka dirusak oleh nelayan lain.


Masalah yang utama adalah saat nelayan lain menangkap ikan dengan menggunakan bom. Pasalnya nelayan Kampung Melahing memasang bubu di daerah karang. Pengeboman menyebabkan karang dan bubu yang dipasang menjadi rusak. 


Tak ayal, ekosistem rusak, nelayan pun kesulitan mendapatkan ikan karena siklus reproduksi dan pertumbuhannya terganggu. 


Permasalahan selanjutnya, yakni penebangan bakau oleh nelayan belat. Mereka menggunakan kayu bakau yang masih kecil untuk membuat alat tangkap belat. Jika dibiarkan, keadaan tersebut merusak mangrove dan benih kerapu bakau semakin sulit dicari karena ekosistemya terganggu.

Energi listrik dari sedimen tambak

Energi listrik dari sedimen tambak

TUESDAY, FEBRUARY 14, 2012

Penggunaan mikroba dalam fuel cell menggantikan fungsi dari enzim untuk mendegradasi bahan organik yang terdapat pada sedimen sehingga menghasilkan arus listrik. 
energi listrik dari sedimen tambakTidak hanya serbuk karbon di baterai yang dapat menyimpan dan menyalurkan energi listrik tapi ternyata sedimen di tambak bisa memiliki fungsi yang sama. Fakta itu terungkap dari hasil pengkajian Bambang Riyanto, dosen dari Departemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan Institut Pertanian Bogor bersama 2 mahasiswanya.
Dari hasil pengkajian di tambak udang tradisional Desa Jayamukti Blanakan Subang Jawa Barat, menunjukkan bahwa sedimen dasar tambak mampu menghasilkan arus listrik yang mencapai puncak di ~161,99 mA per m2 luas tambak dan tegangan listrik sebesar ~0,39 Volt. Puncak energi listrik itu terjadi pada hari ke – 24 dari pengkajian selama 40 hari.
Sedimen yang mengandung energi listrik sebesar itu memiliki karakteristik berupa tanah liat dengan kandungan bahan organik karbon (C) 1,45±0,44%, Nitrogen (N) 0,11±0,03%, rasio C/N 13 dan Fosfor (P) 59 ppm. Namun, setelah 40 hari kandungan bahan organik pada sedimen mengalami penurunan yaitu karbon 1,29±0,34 %, Nitrogen 0,10±0,02 %, sehingga ratio C/N sebesar 12 dan kandungan P yang tersedia 40±4,08ppm.
Menurut Bambang, pengkajian ini dilatarbelakangi persoalan pencemaran sedimen di tambak terutama di tambak tradisional akibat sisa pakan. “Meskipun sudah ditangani dengan cara pengeringan,pengapuran,serta penyiponan. Juga teknik modern seperti bioremediasi, probiotik,dan minimal water exchange systemtetap saja masih kurangefektif menangani sedimen,” ujarnya.


Gunakan mikroba 
Bambang menjelaskan, dalam pendegradasian atau penurunan akumulasi bahan organik pada sedimen tambak udang menggunakanteknologiMicrobial Fuel Cell (MFC)MFC telah dikembangkan sebagai teknologi dalam pengolahan limbah hasil perikanan dan mengurangi tingkat pencemaran lingkungan perairan. ”Implementasi dalam pengembangan MFC pada perairan saat ini telah dicobakan pada berbagai jenis sedimen antara lain sedimen estuaria, rawa asin, danau, sungai,dan laut,” jelas Bambang.
Produksi arus listrik oleh sedimen MFC selama 40 hari dengan menggunakan substrat sedimen tambak udang yang dirangkaikan dengan sebuah resistor tetap bernilai 560 Ω ± 5 %. Jumlah arus listrik yang dihasilkan pada hari pertama pengukuran sebesar 15,7 mA per m2 (inlet), 15,7 mA per m2 (tengah), 11,4 mA per m2 (outlet), dan 21,4 mA per m2 (kontrol). Pada hari ke dua terjadi penurunan arus listrik secara drastis yaitu 1,4 mA per m2 (inlet), 2,1 mA per m2 (tengah), 0 mA per m2 (outlet) dan 2,1 mA per m2 (kontrol). “Hal ini disebabkan adanya akumulasi elektron yang telah ada pada sedimen tambak udang yang digunakan,” ujar Bambang.
Setelah hari kedua terjadi peningkatan jumlah arus listrik yang merupakan hasil dari peningkatan aktivitas dan jumlah mikroorganisme pada sedimen yang mencapai puncaknya pada hari ke – 24 yaitu sebesar 161,99 mA per m2dan 0,39 Volt pada titik pengambilan sampel di tengah tambak. “Penurunan jumlah arus listrik menjelang akhir pengukuran sampai hari ke 40 disebabkan bahan organik yang terdapat di sekitar anoda telah berkurang,” jelas Bambang. Meskipun masih dalam skala laboratorium tapi Bambang berharap pengkajian ini dapat memberikan inspirasi dan nilai tambah dalam pemanfaatan sedimen tambak.
Selengkapnya baca di Majalah Trobos Edisi Januari 2012 (www.trobos.com)

Kamis, 23 Februari 2012

Outlook Perikanan 2012: Industrialisasi perikanan budidaya

Sunday, February 19, 2012

Pengembangan komoditas perikanan budidaya unggulan menjadi produk-produk bernilai tambah yang berorientasi pasar.

Beberapa tahun terakhir, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menempatkan sub sektor perikanan budidaya sebagai primadona pembangunan perikanan nasional. Hal ini tidak terlepas dari besarnya potensi perikanan budidaya yang belum digali dan dimanfaatkan secara optimal.
Disisi lain akuakultur Indonesia saat ini juga membutuhkan sentuhan industrialisasi dalam berbagai aspek. Industrialisasi yang dimaksud meliputi dukungan kebijakan, infrastruktur, permodalan, teknologi, dari hulu sampai hilir. Konsep ini dibahas lebih mendalam dalam acara seminar Outlook Perikanan yang bertema “Industrialisai Perikanan: Peluang dan Tantangan Bagi Usaha Budidaya” di di Hotel Menara Peninsula Jakarta (18/1).
Seminar yang diadakan untuk yang keempat kalinya ini menghadirkan Men KP (Menteri Kelautan dan Perikanan) Sharif Cicip Sutardjo sebagai keynote speaker sekaligus membuka seminar. Acara tahunan ini terselenggara atas kerjasama TROBOS dengan Asosiasi Produsen Pakan Indonesia (GPMT).

Dalam sambutannya Cicip mengemukakan, konsep Industrialisasi kelautan dan perikanan sendiri merupakan sebuah proses perubahan sistem produksi hulu dan hilir. Tujuannya untuk meningkatkan nilai tambah, produktivitas, dan skala produksi sumberdaya kelautan dan perikanan, melalui modernisasi yang didukung dengan arah kebijakan terintegrasi antara kebijakan ekonomi makro, pengembangan infrastruktur, sistem usaha dan investasi, Iptek (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi), serta SDM (Sumber Daya Manusia) untuk kesejahteraan rakyat.


Catatan kinerja 2011
Berdasarkan data KKP, produksi perikanan budidaya menunjukkan grafik positif berupa kenaikan signifikan, dari produksi sebesar 4,78 juta ton pada 2010 meningkat menjadi 6,97 juta ton pada 2011. Dalam presentasinya, Ketut Sugama Direktur Jenderal Perikanan Budidaya menyatakan pada 2012 perikanan budidaya diharapkan menyumbang lebih dari 50 % pencapaian target nasional.

Menurut Ketut, pencapaian produksi paling besar yaitu untuk budidaya ikan kerapu yang mencapai 12,4 ribu ton atau 138 % dari target 9 ribu ton pada 2011. Secara umum komoditas perikanan budidaya (seperti rumput laut, ikan patin, lele, mas, nila, dan gurami) produksinya lebih tinggi dari 2010. Hanya untuk komoditas udang (vannamei dan windu) terlihat angka produksi yang lebih rendah yaitu pada 2010 mencapai 375 ribu ton, sementara sampai Oktober 2011 hanya 259 ribu ton. Ketut optimis menargetkan angka produksi budidaya di 2012 akan mencapai 9,4 juta ton.
Menyoroti kinerja perikanan 2011, Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Rokhmin Dahuri yang hadir sebagai pembicara menuturkan, saat ini masih sekitar 805 tambak rakyat d ikawasan pantura dalam keadaan mangkrak di Pantura (Pantai Utara Jawa). “Revitalisasi tambak udang jangan hanya tambak modern saja tetapi juga tugas pemerintah juga merevitalisasi tambak rakyat,” tegasnya. Tidak hanya itu, pengelolaan, pengolahaan produk perikanan juga harus diimbangi degan ilmu pengetahuan dan teknologi yang modern.
Rokhmin mengutarakan, total potensi produksi akuakultur Indonesia sebesar 57,7 juta ton/tahun dan produksi 5,4 juta ton (9%). Dengan potensi produksi akuakultur terbesar di dunia dan permintaan terhadap berbagai jenis produk akuakultur yang terus meningkat, lanjut Rokhmin, mestinya perikanan budidaya bisa menjadi primemover (penghela) yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi berkualitas secara berkelanjutan untuk mewujudkan Indonesia yang maju, adil-makmur, dan mandiri.
Sementara dari kacamata pelaku budidaya udang, Ketua Shrimp Club Banyuwangi Hardi Pitoyo mengungkapkan, total produksi udang 2011 untuk tambak semi intensif dan intensif dalam grup SCI sekitar 116.800 ton. “Konsistensi pemerintah dalam melakukan larangan impor berdampak pada meningkatnya gairah petani tambak dalam meningkatkan produksi dan melakukan revitalisalisasi tambaknya secara alamiah,” kata Hardi.
Hardi berharap untuk 2012 budidaya udang nasional dapat mempertahankan kemandirian produksi. “Dengan kata lain no import,” tegas Hardi. Ia menambahkan, pada 2011 di pasar Amerika Serikat, ekspor udang Indonesia sudah diperingkat 2. “Pencapaian itu merupakan murni hasil produksi sendiri dengan upaya yg lebih serius rasanya akan mudah jadi produsen udang nomor 1 dunia,” kata Hardi.
Lalu dari sisi pelaku pengolahan, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan (AP5I) Thomas Darmawan mengatakan, kapasitas pengolahan udang (UPU) turun sejak 2009 karena produksi udang turun. “Terjadi rasionalisasi di industri pengolahan udang/ikan bila pasokan bahan baku mahal, tidak lancar dan stabil sehingga yang kekurangan bahan baku lebih baik tidak beroperasi sementara atau tutup sama sekali, belum lagi utilitas kapasitas industri pengolahan udang/ikan masih kurang dari 40 % dengan utilitas bahan baku turun terus dari 59,33 % (2009) dan 57 % (2010),” jelasnya.
Dari sisi peluang pasar, Direktur Jenderal Pengolahan, Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Viktor Nikijuluw melaporkan peluang pasar domestik untuk ikan sangat tinggi. Hampir 40 % ikan laut (fillet kakap, cucut, udang, layur, tongkol, layang, kembung, lemuru, tenggiri) dan 60 % ikan air tawar (gurami, mujair, patin, lele, nila, mas, udang, dan lainnya) dipasarkan ke Hotel (0,15 juta ton/th), Katering – Jasaboga (1,5 juta ton/th – rutin dan 0.44 juta ton/th – pesta ) dan Restoran (1 juta ton/th). Sedangkan seperti ikan selar, kembung, lele, mujair/nila, kekerangan dan mas lebih banyak di warung dan resto (10 juta ton/th).
Selengkapnya baca di majalah Trobos edisi Februari 2012 (www.trobos.com)

Populer Pilihan Anda

Member Card Biru Bahari

 

© Copyright Cinta Bahari Indonesia Media Informasi Kelautan dan Perikanan Indonesia 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.